Tarian Perang Bso,ot, Untuk Penjemputan Tamu Terhormat Dahulu Tarian Ini Untuk Menjemput Ksatria (Meo)Yang Menang Di Medan Perang

  • ekoerdy
  • Oct 29, 2016

[caption id="attachment_99" align="aligncenter" width="300"]M,Bsoot Pah Kuan Napan Bsoot Pah Kuan Napan[/caption]   Asal Mula Suku Dawan atau yang lebih lazim disebut Atoin Meto, adalah suku bangsa asli di Pulau Timor. Suku bangsa ini yang kini terbanyak jumlahnya di Timor Barat, termasuk juga penghuni Distrik Ambenu, Democratic Republic of Timor-Leste (RDTL). Pada zaman dahulu ketika terjadi kasus-kasus perlawanan antar suku, yang disebabkan persoalan perampasan wilayah, pencurian dan pembunuhan, memicu perang tanding antar sesama suku sendiri atau dengan suku bangsa sekitarnya. Dalam perang yang terjadi, jika ada manusia yang korban maka menurut tata cara perang, kepala si korban harus dipancung oleh Raja dan Ksatria (Meo) yang berhasil membunuh lawan, untuk dibawa sebagai bukti keberhasilannya. Ketika meo bersama kelompoknya kembali ke perkampungannya, mereka harus melakukan upacara kemenangan atau upacara kepahlawanan yang disebut  Nanono Nakaf artinya penyerahan tengkorak manusia, upacara mana dilakukan di Ume-Leu (rumah pemali/Rumah Adat) mereka. Di dalam upacara ini, salah satu atraksi budaya yang digelar adalah tarian perang Ote Nakaf. Kaum lelaki dengan mengikatkan giring giring (Bano) di pergelangan kaki dengan parang terhunus menari mengisahkan keperkasaan dan keberhasilan mereka menumpas lawan, dengan diiringi irama gong dan genderang (Leku Sene) yang ditabuh kaum wanitanya. Ritme bunyi tiga jenis gong, To', Kiko' dan Tlolo' yang ditabuh bersama menghasilkan irama yang merdu. Perpaduan antara irama tabuhan gong dan genderang serta gerak tari para penari menghasilkan harmoni indah, ditambah bunyi giring-giring  ( Bano) yang terikat pada kaki para penari menimbulkan kesan  riang gembira. Penyambutan Tamu Leku Sene dan Bso'ot yang merupakan tradisi penyambutan para Meo dari medan perang itu, tetap dipelihara Atoin Meto. Dewasa ini, paduan tabuhan gong serta tarian pedang tersebut tidak lagi dihelat untuk menyambut para Meo yang kembali dari medan perang, tetapi untuk menyambut tamu yang datang berkunjung, baik para pejabat pemerintahan maupun orang-orang penting lainnya. Para tamu yang datang terlebih dahulu diterima para tetua, tokoh masyarakat, atau pejabat adat dengan tuturan adat (Natoni/Takanab) kemudian kaum perempuan mulai menabuh gong. Sementara para penari lelaki mulai menari menghentak-hentakan kaki seirama dengan tabuhan gong. Pedang yang ada di tangan mereka pun dihunus sebagai penghormatan kepada tetamu yang datang. Dengan Leku Sene dan Bso'ot Atoin Meto mengungkapkan pengormatan dan kegembiraan menyambut terhadap para tetamu yang datang. Penghormatan dan kegembiraan tersebut menggambarkan sikap ketulusan dan penerimaan Atoin Meto terhadap tetamu yang datang berkunjung.